link within

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

CONNECT WITH

Sabtu, 18 Juni 2011

KH. AHMAD DAHLAN 'SANG PENCERAH'



Ahmad Dahlan (bernama kecil
Muhammad Darwisy), adalah
pelopor dan bapak
pembaharuan Islam. Kyai Haji
kelahiran Yogyakarta, 1 Agustus
1868, inilah yang mendirikan
organisasi Muhammadiyah pada
18 November 1912. Pahlawan
Nasional Indonesia ini wafat
pada usia 54 tahun di
Yogyakarta, 23 Februari 1923.

KH Ahmad Dahlan mendirikan
organisasi Muhammadiyah untuk
melaksanakan cita-cita
pembaharuan Islam di
nusantara. Ia ingin mengadakan
suatu pembaharuan dalam cara
berpikir dan beramal menurut
tuntunan agama Islam. Ia ingin
mengajak ummat Islam
Indonesia untuk kembali hidup
menurut tuntunan al-Qur'an dan
al-Hadits. Ia mendirikan
Muhammadiyah bukan sebagai
organisasi politik tetapi sebagai
organisasi sosial kemasyarakatan
dan keagamaan yang bergerak
di bidang pendidikan.

Pada saat Ahmad Dahlan
melontarkan gagasan pendirian
Muhammadiyah, ia mendapat
tantangan bahkan fitnahan,
tuduhan dan hasutan baik dari
keluarga dekat maupun dari
masyarakat sekitarnya. Ia
dituduh hendak mendirikan
agama baru yang menyalahi
agama Islam. Ada yang
menuduhnya kiai palsu, karena
sudah meniru-niru bangsa
Belanda yang Kristen dan
macam-macam tuduhan lain.
Bahkan ada pula orang yang
hendak membunuhnya. Namun
rintangan-rintangan tersebut
dihadapinya dengan sabar.
Keteguhan hatinya untuk
melanjutkan cita-cita dan
perjuangan pembaharuan Islam
di tanah air bisa mengatasi
semua rintangan tersebut. 1)

Atas jasa-jasa KH Ahmad Dahlan
dalam membangkitkan
kesadaran bangsa ini melalui
pembaharuan Islam dan
pendidikan, maka Pemerintah
Republik Indonesia
menetapkannya sebagai
Pahlawan Nasional dengan surat
Keputusan Presiden no. 657
tahun 1961. Penetapannya
sebagai Pahlawan Nasional
didasarkan pada empat pokok
penting yakni: Pertama, KH
Ahmad Dahlan telah
mempelopori kebangkitan
ummat Islam untuk menyadari
nasibnya sebagai bangsa terjajah
yang masih harus belajar dan
berbuat.
Kedua, dengan organisasi
Muhammadiyah yang
didirikannya, telah banyak
memberikan ajaran Islam yang
murni kepada bangsanya. Ajaran
yang menuntut kemajuan,
kecerdasan, dan beramal bagi
masyarakat dan ummat, dengan
dasar iman dan Islam. Ketiga,
dengan organisasinya,
Muhammadiyah telah
mempelopori amal usaha sosial
dan pendidikan yang amat
diperlukan bagi kebangkitan dan
kemajuan bangsa, dengan jiwa
ajaran Islam. Keempat, dengan
organisasinya, Muhammadiyah
bagian wanita (Aisyiyah) telah
mempelopori kebangkitan
wanita Indonesia untuk
mengecap pendidikan.
Diasuh di Lingkungan Pesantren
Muhammad Darwisy lahir dari
keluarga ulama dan pelopor
penyebaran dan pengembangan
Islam di tanah air. Ayahnya, KH
Abu Bakar adalah seorang ulama
dan khatib terkemuka di Masjid
Besar Kasultanan Yogyakarta,
dan ibunya, Nyai Abu Bakar
adalah puteri dari H. Ibrahim
yang juga menjabat penghulu
Kasultanan Yogyakarta pada
masa itu.
Ia anak keempat dari tujuh
orang bersaudara, lima
saudaranya perempuan dan dua
lelaki yakni ia sendiri dan adik
bungsunya. Dalam silsilah, ia
termasuk keturunan yang kedua
belas dari Maulana Malik Ibrahim,
seorang wali besar dan seorang
yang terkemuka diantara Wali
Songo, yang merupakan pelopor
pertama dari penyebaran dan
pengembangan Islam di Tanah
Jawa (Kutojo dan Safwan, 1991).
2)Idem

Silsilahnya lengkapnya ialah
Muhammad Darwisy (Ahmad
Dahlan) bin KH Abu Bakar bin KH
Muhammad Sulaiman bin Kiyai
Murtadla bin Kiyai Ilyas bin
Demang Djurung Djuru Kapindo
bin Demang Djurung Djuru
Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki
Ageng Gribig (Djatinom) bin
Maulana Muhammad Fadlul'llah
(Prapen) bin Maulana 'Ainul Yaqin
bin Maulana Ishaq bin Maulana
Malik Ibrahim (Yunus Salam,
1968: 6).
Sejak kecil Muhammad Darwisy
diasuh dalam lingkungan
pesantren, yang membekalinya
pengetahuan agama dan bahasa
Arab. Pada usia 15 tahun (1883),
ia sudah menunaikan ibadah
haji, yang kemudian dilanjutkan
dengan menuntut ilmu agama
dan bahasa arab di Makkah
selama lima tahun. Ia pun
semakin intens berinteraksi
dengan pemikiran-pemikiran
pembaharu dalam dunia Islam,
seperti Muhammad Abduh, al-
Afghani, Rasyid Ridha, dan ibn
Taimiyah. Interaksi dengan
tokoh-tokoh Islam pembaharu
itu sangat berpengaruh pada
semangat, jiwa dan pemikiran
Darwisy.
Semangat, jiwa dan pemikiran
itulah kemudian diwujudkannya
dengan menampilkan corak
keagamaan yang sama melalui
Muhammadiyah. Bertujuan untuk
memperbaharui pemahaman
keagamaan (ke-Islaman) di
sebagian besar dunia Islam saat
itu yang masih bersifat ortodoks
(kolot). Ahmad Dahlan
memandang sifat ortodoks itu
akan menimbulkan kebekuan
ajaran Islam, serta stagnasi dan
dekadensi (keterbelakangan)
ummat Islam. Maka, ia
memandang, pemahaman
keagamaan yang statis itu harus
diubah dan diperbaharui,
dengan gerakan purifikasi atau
pemurnian ajaran Islam dengan
kembali kepada al-Qur'an dan al-
Hadits.

Setelah lima tahun belajar di
Makkah, pada tahun 1888, saat
berusia 20 tahun, Darwisy
kembali ke kampungnya. Ia pun
berganti nama menjadi Ahmad
Dahlan. Lalu, ia pun diangkat
menjadi khatib amin di
lingkungan Kesultanan
Yogyakarta.
Pada tahun 1902, ia menunaikan
ibadah haji untuk kedua kalinya,
sekaligus dilanjutkan dengan
memperdalam ilmu agama
kepada beberapa guru di
Makkah hingga tahun 1904.
Sepulang dari Makkah, ia
menikah dengan Siti Walidah,
sepupunya sendiri, anak Kyai
Penghulu Haji Fadhil. Siti Walidah,
kemudian lebih dikenal dengan
nama Nyai Ahmad Dahlan,
seorang Pahlawanan Nasional
dan pendiri Aisyiyah. Pasangan
ini mendapat enam orang anak
yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti
Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah,
Siti Zaharah (Kutojo dan Safwan,
1991).
Di samping itu, KH. Ahmad Dahlan
pernah pula menikahi Nyai
Abdullah, janda H. Abdullah. Ia
juga pernah menikahi Nyai Rum,
adik Kyai Munawwir Krapyak. KH.
Ahmad Dahlan juga mempunyai
putera dari perkawinannya
dengan Ibu Nyai Aisyah (adik
Adjengan Penghulu) Cianjur yang
bernama Dandanah. Beliau
pernah pula menikah dengan
Nyai Yasin Pakualaman
Yogyakarta (Yunus Salam, 1968:
9).
Mendirikan Muhammadiyah
Semangat, jiwa dan pemikiran
pembaharu dalam dunia Islam,
yang diperolehnya dari
Muhammad Abduh, al-Afghani,
Rasyid Ridha, ibn Taimiyah dan
lain-lain selama belajar Makkah
(1883-1888 dan 1902-1904),
kemudian diwujudkannya
dengan menampilkan corak
keagamaan yang sama melalui
Muhammadiyah. Bertujuan untuk
memperbaharui pemahaman
keagamaan (ke-Islaman) di
sebagian besar dunia Islam saat
itu yang masih bersifat ortodoks
(kolot).
Ahmad Dahlan memandang sifat
ortodoks itu akan menimbulkan
kebekuan ajaran Islam, serta
stagnasi dan dekadensi
(keterbelakangan) ummat Islam.
Maka, ia memandang,
pemahaman keagamaan yang
statis itu harus diubah dan
diperbaharui, dengan gerakan
purifikasi atau pemurnian ajaran
Islam dengan kembali kepada al-
Qur'an dan al-Hadits.
Dahlan sendiri sadar bahwa
semaangat pembaharuannya
tidak akan serta-merta dapat
dipahami dan diterima keluarga
dan masyarakat sekitarnya. Tidak
mudah melakukan pemharuan
pada suatu sifat ortodoks yang
sudah membeku. Maka, entah
terkait atau tidak, ada sebuah
nasehat yang ditulisnya dalam
bahasa Arab untuk dirinya
sendiri.

Bunyinya demikian: "Wahai
Dahlan, sungguh di depanmu
ada bahaya besar dan peristiwa-
peristiwa yang akan
mengejutkan engkau, yang pasti
harus engkau lewati. Mungkin
engkau mampu melewatinya
dengan selamat, tetapi mungkin
juga engkau akan binasa
karenanya. Wahai Dahlan, coba
engkau bayangkan seolah-olah
engkau berada seorang diri
bersama Allah, sedangkan
engkau menghadapi kematian,
pengadilan, hisab, surga, dan
neraka. Dan dari sekalian yang
engkau hadapi itu, renungkanlah
yang terdekat kepadamu, dan
tinggalkanlah lainnya
(diterjemahkan oleh Djarnawi
Hadikusumo).
Dalam artikel riwayat Ahmad
Dahlan di situs resmi
Parsyarikatan Muhammadiyah
(muhammadiyah.or.id), pesan ini
disebut menyiratkan sebuah
semangat yang besar tentang
kehidupan akhirat. Dan untuk
mencapai kehidupan akhirat
yang baik, maka Dahlan berpikir
bahwa setiap orang harus
mencari bekal untuk kehidupan
akhirat itu dengan
memperbanyak ibadah, amal
saleh, menyiarkan dan membela
agama Allah, serta memimpin
ummat ke jalan yang benar dan
membimbing mereka pada amal
dan perjuangan menegakkan
kalimah Allah.
Dengan demikian, untuk mencari
bekal mencapai kehidupan
akhirat yang baik harus
mempunyai kesadaran kolektif,
artinya bahwa upaya-upaya
tersebut harus diserukan
(dakwah) kepada seluruh ummat
manusia melalui upaya-upaya
yang sistematis dan kolektif.
Dijelaskan dalam artikel itu,
kesadaran seperti itulah yang
menyebabkan Dahlan sangat
merasakan kemunduran ummat
Islam di tanah air. Hal ini
merisaukan hatinya. Ia merasa
bertanggung jawab untuk
membangunkan, menggerakkan
dan memajukan mereka. Dahlan
sadar bahwa kewajiban itu tidak
mungkin dilaksanakan seorang
diri, tetapi harus dilaksanakan
oleh beberapa orang yang diatur
secara seksama. Kerjasama
antara beberapa orang itu tidak
mungkin tanpa organisasi.
Perkumpulan, parsyarikatan dan
gerakan dakwah:
Muhammadiyah.
Dahlan pun memilih strategi yang
amat baik dengan lebih dahulu
membina angkatan muda untuk
turut bersama-sama
melaksanakan upaya dakwah
tersebut, sekaligus meneruskan
cita-citanya memajukan bangsa
ini. Apalagi ia berkesempatan
mengakselerasi dan memperluas
gagasannya tentang gerakan
dakwah Muhammadiyah itu
dengan mendidik para calon
pamongpraja (calon pejabat)
yang belajar di OSVIA Magelang
dan para calon guru yang belajar
di Kweekschool Jetis Yogyakarta.
Karena, ia sendiri diizinkan oleh
pemerintah kolonial untuk
mengajarkan agama Islam di
kedua sekolah tersebut.
Tentu saja para calon
pamongpraja tersebut dapat
diharapkan mengaselerasi dan
memperluas gagasannya
tersebut, karena mereka akan
menjadi orang yang mempunyai
pengaruh luas di tengah
masyarakat. Begitu pula para
calon guru akan segera
mempercepat proses
transformasi ide tentang
gerakan dakwah
Muhammadiyah, kepada murid-
muridnya. Guna
mengintensifkannya, Dahlan pun
mendirikan sekolah guru yang
kemudian dikenal dengan
Madrasah Mu'allimin
(Kweekschool Muhammadiyah)
dan Madrasah Mu'allimat
(Kweekschool Istri
Muhammadiyah). Di sekolah ini,
Dahlan mengajarkan agama
Islam dan menyebarkan cita-cita
pembaharuannya.
Dahlan dikenal sebagai seorang
yang aktif dalam kegiatan
bermasyarakat. Dengan gagasan-
gagasan cemerlang dan kegiatan
kemasyarakatannya, Dahlan juga
dengan mudah diterima dan
dihormati di tengah kalangan
masyarakat. Termasuk dengan
cepat mendapatkan tempat di
organisasi Jam'iyatul Khair, Budi
Utomo, Syarikat Islam, dan
Comite Pembela Kanjeng Nabi
Muhammad saw.
Pada tahun 1912, tepatnya
tanggal 18 Nopember 1912,
Ahmad Dahlan pun mendirikan
organisasi Muhammadiyah untuk
melaksanakan cita-cita
pembaharuan Islam. Ia punya visi
untu melakukan suatu
pembaharuan dalam cara
berpikir dan beramal menurut
tuntunan agama Islam. Ia ingin
mengajak ummat Islam
Indonesia untuk kembali hidup
menurut tuntunan al-Qur'an dan
al-Hadits.
Berbagai tantangan ia hadapi
sehubungan dengan gagasan
pendirian Muhammadiyah itu.
Bahkan ia dituduh hendak
mendirikan agama baru yang
menyalahi agama Islam. Kiai
palsu. Sampai ada pula orang
yang hendak membunuhnya.
Namun rintangan-rintangan
tersebut dihadapinya dengan
sabar.
Dahlan teguh pada pendiriannya.
Pada tanggal 20 Desember 1912,
ia mengajukan permohonan
kepada Pemerintah Hindia
Belanda untuk mendapatkan
badan hukum. Permohonan itu
baru dikabulkan pada tahun
1914, dengan Surat Ketetapan
Pemerintah No. 81 tanggal 22
Agustus 1914. Tampaknya,
Pemerintah Hindia Belanda ada
kekhawatiran akan
perkembangan organisasi ini.
Sehingga izin itu hanya berlaku
untuk daerah Yogyakarta dan
organisasi ini hanya boleh
bergerak di daerah Yogyakarta
Namun, walaupun
Muhammadiyah dibatasi, tetapi
di daerah lain seperti Srandakan,
Wonosari, dan Imogiri dan lain-
lain tempat telah berdiri cabang
Muhammadiyah. Hal ini jelas
bertentangan dengan dengan
keinginan pemerintah Hindia
Belanda. Untuk mengatasinya,
maka KH. Ahmad Dahlan
menyiasatinya dengan
menganjurkan agar cabang
Muhammadiyah di luar
Yogyakarta memakai nama lain.
Misalnya Nurul Islam di
Pekalongan, Ujung Pandang
dengan nama Al-Munir, di Garut
dengan nama Ahmadiyah.
Sedangkan di Solo berdiri
perkumpulan Sidiq Amanah
Tabligh Fathonah (SATF) yang
mendapat pimpinan dari cabang
Muhammadiyah. Bahkan dalam
kota Yogyakarta sendiri ia
menganjurkan adanya jama'ah
dan perkumpulan untuk
mengadakan pengajian dan
menjalankan kepentingan Islam.
Perkumpulan-perkumpulan dan
Jama'ah-jama'ah ini mendapat
bimbingan dari Muhammadiyah,
yang di antaranya ialah Ikhwanul
Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya
Muda, Hambudi-Suci, Khayatul
Qulub, Priya Utama, Dewan Islam,
Thaharatul Qulub, Thaharatul-
Aba, Ta'awanu alal birri, Ta'ruf
bima kan,u wal-Fajri, Wal-Ashri,
Jamiyatul Muslimin, Syahratul
Mubtadi (Kutojo dan Safwan,
1991: 33).
Gagasan pembaharuan Islam,
Muhammadiyah disebarluaskan
oleh Ahmad Dahlan dengan
mengadakan tabligh ke berbagai
kota, di samping juga melalui
relasi-relasi dagang yang
dimilikinya. Gagasan ini ternyata
mendapatkan sambutan yang
besar dari masyarakat di
berbagai kota di Indonesia.
Ulama-ulama dari berbagai
daerah lain berdatangan
kepadanya untuk menyatakan
dukungan terhadap
Muhammadiyah. Muhammadiyah
makin lama makin berkembang
hampir di seluruh Indonesia.
Oleh karena itu, pada tanggal 7
Mei 1921 Dahlan mengajukan
permohonan kepada pemerintah
Hindia Belanda untuk mendirikan
cabang-cabang Muhammadiyah
di seluruh Indonesia.
Permohonan ini dikabulkan oleh
pemerintah Hindia Belanda pada
tanggal 2 September 1921.
Dalam bulan Oktober 1922,
Ahmad Dahlan memimpin
delegasi Muhammadiyah dalam
kongres Al-Islam di Cirebon.
Kongres ini diselenggarakan oleh
Sarikat Islam (SI) guna mencari
aksi baru untuk konsolidasi
persatuan ummat Islam. Dalam
kongres tersebut,
Muhammadiyah dan Al-Irsyad
(perkumpulan golongan Arab
yang berhaluan maju di bawah
pimpinan Syeikh Ahmad Syurkati)
terlibat perdebatan yang tajam
dengan kaum Islam ortodoks
dari Surabaya dan Kudus.
Muhammadiyah dipersalahkan
menyerang aliran yang telah
mapan (tradisionalis-konservatif)
dan dianggap membangun
mazhab baru di luar mazhab
empat yang telah ada dan
mapan.
Muhammadiyah juga dituduh
hendak mengadakan tafsir
Qur'an baru, yang menurut kaum
ortodoks-tradisional merupakan
perbuatan terlarang. Menanggapi
serangan tersebut, Ahmad
Dahlan menjawabnya dengan
perkataan, "Muhammadiyah
berusaha bercita-cita
mengangkat agama Islam dari
keadaan terbekelakang. Banyak
penganut Islam yang
menjunjung tinggi tafsir para
ulama dari pada Qur'an dan
Hadits. Umat Islam harus kembali
kepada Qur'an dan Hadits. Harus
mempelajari langsung dari
sumbernya, dan tidak hanya
melalui kitab-kitab tafsir".
Sebagai seorang yang
demokratis dalam melaksanakan
aktivitas gerakan dakwah
Muhammadiyah, Dahlan juga
memfasilitasi para anggota
Muhammadiyah untuk proses
evaluasi kerja dan pemilihan
pemimpin dalam
Muhammadiyah. Selama
hidupnya dalam aktivitas
gerakan dakwah
Muhammadiyah, telah
diselenggarakan duabelas kali
pertemuan anggota (sekali dalam
setahun), yang saat itu dipakai
istilah Algemeene Vergadering
(persidangan umum).
Di samping aktif dalam
menggulirkan gagasannya
tentang gerakan dakwah
Muhammadiyah, ia juga tidak
lupa akan tugasnya sebagai
pribadi yang mempunyai
tanggung jawab pada
keluarganya. Sebagai salah
seorang keturunan bangsawan
yang menduduki jabatan sebagai
Khatib Masjid Besar Yogyakarta,
ia mempunyai penghasilan
cukup tinggi. Ia juga
berkecimpung sebagai seorang
wirausahawan yang cukup
berhasil dengan berdagang
batik.


Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More