link within

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

CONNECT WITH

Kamis, 10 Maret 2011

SYAIR AR-RUMMI



Ia berkata, “Siapa itu berada di
pintu?”
Aku berkata, “Hamba sahaya
Paduka.”
Ia berkata, “Kenapa kau ke
mari?”
Aku berkata, “Untuk
menyampaikan hormat padamu,
Gusti. ”
Ia berkata, “Berapa lama kau bisa
bertahan?”
Aku berkata, “Sampai ada
panggilan.”
Aku pun menyatakan cinta, aku
mengambil sumpah
Bahwa demi cinta aku telah
kehilangan kekuasaan.
Ia berkata, “Hakim menuntut
saksi kalau ada pernyataan.”

Aku berkata, “Air mata adalah
saksiku, pucatnya wajahku
adalah buktiku. ”
Ia berkata, “Saksi tidak sah,
matamu juling.”
Aku berkata, “Karena wibawa
keadilanMu mataku terbebas dari
dosa. ”

Syair religius di atas adalah
cuplikan dari salah satu puisi
karya penyair sufi terbesar dari
Persia, Jalaluddin Rumi.
Kebesaran Rumi terletak pada
kedalaman ilmu dan kemampuan
mengungkapkan perasaannya ke
dalam bahasa yang indah. Karena
kedalaman ilmunya itu, puisi-
puisi Rumi juga dikenal
mempunyai kedalaman makna.

Dua hal itulah –kedalaman makna
dan keindahan bahasa– yang
menyebabkan puisi-puisi Rumi
sulit tertandingi oleh penyair sufi
sebelum maupun sesudahnya.

***
Aku mati sebagai mineral
dan menjelma sebagai
tumbuhan,
aku mati sebagai tumbuhan
dan lahir kembali sebagai
binatang.
Aku mati sebagai binatang dan
kini manusia.
Kenapa aku harus takut?
Maut tidak pernah mengurangi
sesuatu dari diriku.
Sekali lagi,
aku masih harus mati sebagai
manusia,
dan lahir di alam para malaikat.
Bahkan setelah menjelma
sebagai malaikat,
aku masih harus mati lagi;
Karena, kecuali Tuhan,
tidak ada sesuatu yang kekal
abadi.

Setelah kelahiranku sebagai
malaikat,
aku masih akan menjelma lagi
dalam bentuk yang tak
kupahami.
Ah, biarkan diriku lenyap,
memasuki kekosongan,
kasunyataan
Karena hanya dalam kasunyataan
itu
terdengar nyanyian mulia;
“Kepada Nya, kita semua akan
kembali”

***
Apa Yang mesti Ku lakukan
Apa yang mesti kulakukan, O
Muslim? Aku tak mengenal diriku
sendiri
Aku bukan Kristen, bukan Yahudi,
bukan Gabar, bukan Muslim
Aku bukan dari Timur, bukan
dari Barat, bukan dari darat,
bukan dari laut,
Aku bukan dari alam, bukan dari
langit berputar,
Aku bukan dari tanah, bukan dari
air, bukan dari udara, bukan dari
api,
Aku bukan dari cahaya, bukan
dari debu, bukan dari wujud dan
bukan dari hal
Aku bukan dari India, bukan dari
Cina, bukan dari Bulgaria, bukan
dari Saqsin,
Aku bukan dari Kerajaan Iraq,
bukan dari negeri Korazan.
Aku bukan dari dunia ini
ataupun dari akhirat, bukan dari
Sorga ataupun Neraka
Aku bukan dari Adam, bukan dari
Hawa, bukan dari Firdaus bukan
dari Rizwan
Tempatku adalah Tanpa tempat,
jejakku adalah tak berjejak
Ini bukan raga dan jiwa, sebab
aku milik jiwa Kekasih
Telah ku buang anggapan ganda,
kulihat dua dunia ini esa
Esa yang kucari, Esa yang kutahu,
Esa yang kulihat, Esa yang ku
panggil
Ia yang pertama, Ia yang
terakhir, Ia yang lahir, Ia yang
bathin
Tidak ada yang kuketahui
kecuali : “Ya Hu” dan “Ya man
Hu”
Aku mabok oleh piala Cinta, dua
dunia lewat tanpa kutahu
Aku tak berbuat apa pun kecuali
mabok gila-gilaan
Kalau sekali saja aku semenit
tanpa Kau,
Saat itu aku pasti menyesali
hidupku
Jika sekali di dunia ini aku
pernah sejenak senyum,
Aku akan merambah dua dunia,
aku akan menari jaya sepanjang
masa.
O Syamsi Tabrizi, aku begitu
mabok di dunia ini,
Tak ada yang bisa kukisahkan
lagi, kecuali tentang mabok dan
gila-gilaan.








sumber : by-awang.blogspot.com


Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More