link within

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

CONNECT WITH

Jumat, 04 Maret 2011

AKANKAH ADA BADAI MATAHARI 2012??



Tahun 2012 tiba-tiba menjadi
angka menakjubkan, setelah
para ilmuwan dan penulis
belakangan ini mengungkapkan
ramalan bangsa Maya kuno
tentang akhir zaman yang jatuh
pada 21 Desember 2012, akhir
siklus kalender bangsa itu.
Banyak buku kemudian terbit
mengenai ramalan ini, termasuk
Apocalypse 2012 yang paling
terkenal. Buku karya Lawrence E.
Joseph, wartawan dan Ketua
Dewan Direksi Aerospace
Consulting Corporation di New
Mexico, Amerika Serikat, ini terbit
dalam bahasa Indonesia dengan
judul Kiamat 2012: Investigasi
Akhir Zaman. Himpunan
Mahasiswa Astronomi Institut
Teknologi Bandung bahkan
menggelar diskusi mengenai
topik ini di kampusnya pada
pertengahan bulan lalu.
Para penulis menafsirkan
ramalan bangsa Maya kuno itu
sebagai hari kiamat. Dasar
argumentasi mereka adalah
kemunculan badai matahari pada
tahun tersebut. Badai itu
disebabkan oleh flare atau
ledakan di atmosfer matahari
yang melontarkan partikel
atomik yang menyerupai jilatan
api dan mengandung medan
magnet. Bila sampai ke bumi,
pancaran partikel ini dapat
mempengaruhi medan magnet
bumi dan mengganggu
frekuensi radio.
Menurut perhitungan mereka,
besar badai itu akan bertambah
saat matahari mencapai siklus
maksimumnya, yang
diperkirakan akan terjadi pada
2012.
Sahihkah argumen itu?
Thomas Djamaluddin, peneliti
utama astronomi dan astrofisika
di Lembaga Penerbangan dan
Antariksa Nasional, menilai
pengaitan kiamat pada tahun
tersebut dengan badai matahari
tidaklah berdasar. Badai itu, kata
dia, merupakan peristiwa biasa
yang memiliki siklus sebelas
tahun. Perulangan terjadi pada
2012-2013 nanti karena ada
pergeseran siklus.
"Bergesernya ke semester
pertama 2013," kata Dhani
Herdiwijaya, ahli matahari dari
Institut Teknologi Bandung,
Selasa pekan lalu.
Dhani mengutip perkiraan siklus
badai matahari yang dilansir
National Oceanic and
Atmospheric Administration,
lembaga pemantau cuaca milik
pemerintah Amerika Serikat,
pada Mei tahun lalu. Lembaga ini
menyatakan siklus itu akan
mencapai puncaknya pada Mei
2013.
Bahkan, kata mantan Ketua
Program Studi Astronomi Institut
Teknologi Bandung itu, ada
kemungkinan saat puncak siklus
nanti aktivitas matahari justru
lebih rendah dibanding saat
siklus sebelumnya.
Thomas menyatakan badai
matahari sebenarnya dapat
terjadi kapan saja. Siklus sebelas
tahun itu, kata dia, ditandai
frekuensi kejadian yang
meningkat tajam. Siklus ini
diindikasikan dengan munculnya
banyak bintik matahari, yang
menandakan terjadinya
pergolakan di permukaan benda
langit itu.
Saat kondisi puncak terjadi,
bukan berarti setiap hari terjadi
ledakan di matahari. "Mungkin
hanya 1 hari 1 kali, kemudian
berselang 2-3 hari lagi baru
terjadi," kata alumnus Universitas
Kyoto, Jepang, itu pada Rabu dua
pekan lalu.
Perlu diingat, kata Thomas, bila
frekuensi kejadian ini lebih
banyak, bukan berarti intensitas
ledakannya juga paling tinggi.
Sering, kata dia, intensitas
ledakan atau badai matahari itu
terjadi justru setelah puncak
kejadiannya terlampaui.
Siklus badai matahari itu oleh
para astronom diberi nomor
untuk memudahkan pengenalan.
Siklus yang akan terjadi pada
2012-2013, misalnya, diberi
nomor 24. Pada saat itu, kata
Thomas, belum tentu intensitas
ledakan paling kuatnya terjadi
pada tahun itu juga, tapi bisa jadi
sebelum atau sesudah puncak
siklus tersebut.
Thomas mencontohkan siklus 23
puncak badai matahari yang
terjadi pada tahun 2000.
Ledakan terbesarnya justru
terjadi tiga tahun kemudian.
Pada rentang Oktober-November
2003 memang terjadi badai
matahari yang sangat kuat, yang
menyebabkan komunikasi
sejumlah satelit terganggu.
Menurut Thomas, badai matahari
itu baru menjadi persoalan jika
ledakannya mengarah ke bumi.
Saat itu, kata dia, bukan hanya
satelit yang mengangkasa di
orbit bumi yang terganggu. Bumi
pun mengalaminya.
Saat ledakan matahari mengarah
ke bumi, partikel berenergi tinggi
yang ikut terlontar menyusup
masuk bumi mengikuti arah
medan magnet bumi dari kutub
utara dan menyebar memasuki
atmosfer. Insiden itu pernah
dilaporkan pada saat siklus 22
pada 1989. Kala itu
transformator (trafo)
pembangkit listrik di Quebec,
Kanada, terbakar dan sesaat
kemudian listrik yang memasok
kebutuhan 6 juta penduduk di
sana padam selama 9 jam.
Partikel matahari itu, kata
Thomas, menyebabkan induksi
pada trafo. Induksi, atau
peningkatan muatan listrik tiba-
tiba, membakar trafo secara
masif sehingga jaringan listrik
mati total. Menurut Thomas,
sejauh ini, belum ada laporan
pengaruh badai itu pada
peralatan elektronik selain trafo
listrik.
Thomas menjelaskan
penyusupan partikel matahari itu
paling banter hanya mampu
memasuki wilayah bumi yang
berada di lintang tinggi, di atas
60 derajat. Pada kondisi ekstrem,
trafo listrik di negara-negara
Eropa, Amerika Serikat, Kanada,
dan Rusia bakal terancam
langsung oleh induksi akibat
partikel itu.
Pengaruh langsung itu bahkan
belum pernah dilaporkan terjadi
di wilayah lintang menengah.
Indonesia, yang berada di jalur
ekuator, hanya akan mengalami
akibat tidak langsungnya.
Kalaupun ada, itu terjadi pada
satelit milik Indonesia. "Itu pun
kalau operator satelit kita tidak
mengantisipasinya," kata
Thomas.
Ledakan matahari kini sudah
menjadi perhatian dunia.
Sejumlah satelit telah diluncurkan
khusus untuk mengamati
ledakan ini. Informasi ledakan
juga disebar secara terbuka di
Internet, sehingga operator
satelit, misalnya, dapat segera
mengendalikan satelitnya pada
posisi stand-by, kondisi
minimum untuk menekan
dampak badai.
Chatief Kunjaya, asisten profesor
di Departemen Astronomi Institut
Teknologi Bandung,
membenarkan bahwa catatan
mengenai gangguan akibat
badai matahari ini sebatas pada
gangguan sistem satelit hingga
padamnya listrik. "Selama ini,
tidak pernah menimbulkan
bahaya langsung di kehidupan
manusia," katanya.
Gangguan komunikasi, kata
Chatief, ada kemungkinan bakal
mendominasi efek badai
matahari. "Gangguan yang dulu
tidak terlalu kentara itu kini bakal
terasa seiring dengan
meningkatnya penggunaan
telepon yang mengandalkan
jaringan satelit," katanya.
Selain siklus sebelas tahun, ada
siklus 100 tahunan atau siklus
Gleisberg, salah satu siklus
panjang dari aktivitas matahari.
Siklus ini menandai terjadinya
penurunan aktivitas matahari
sampai kondisi minimumnya.
"Saat siklus minimum itu
berlangsung, terjadilah
pendinginan global," ujar Dhani.
Dengan minimnya aktivitas
matahari, kata Dhani, secara
teoretis pancaran energinya
yang diterima bumi juga
menurun sehingga memicu
pendinginan global, dan bumi
mengalami "zaman es kecil".
Bumi pernah mengalaminya
pada awal 1800-an. Saat itu,
Sungai Thames di Inggris
membeku.
Dhani mengatakan kemungkinan
puncak siklus yang rendah ini
membawa bumi kembali ke awal
abad ke-19, saat aktivitas
matahari rendah. "Apakah nanti
pada siklus 25 aktivitas matahari
akan lebih turun lagi, itu kita
belum tahu. Kalau turun, berarti
kita masuk ke pendinginan
global lagi," katanya.
Kondisi ini akan mendera
daerah-daerah yang berada di
lintang tinggi. Daerah yang
berada di ekuator seperti
Indonesia akan terpengaruh
akibat ketidakseimbangan
temperatur di belahan bumi
utara dan selatan. "Walaupun
tidak separah mereka," kata
Dhani.

SUmber : TEMPOinteraksi


Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More