link within

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

CONNECT WITH

Minggu, 10 April 2011

BATU BATU PIJAKAN



Sabtu pagi. “warno … dipanggil
kepala sekolah!” lagi-lagi namaku
dipanggil. Aku sudah tahu apa
yang akan disampaikan kepala
sekolah. Bulan lalu bu tuti wali
kelasku memanggil
menyampaikan salam untuk
orangtuaku untuk segera
membayar biaya SPP-ku yang
sudah nunggak hampir 6 bulan.

Sebulan sebelumnya bahkan
bagian Tata Usaha sudah berkali-
kali memanggilku hingga semua
teman-teman tahu setiap kali aku
dipanggil pasti urusannya
dengan soal bayaran sekolah.
Sejak orangtuaku bercerai dan
aku memutuskan untuk ikut ibu
setahun yang lalu, kondisi
ekonomi keluargaku memang
semakin terdesak. Terlebih sejak
ayah menyetop kiriman uang
yang seharusnya menjadi
kewajibannya 6 bulan lalu. Ibu
yang hanya lulusan PGA
(Pendidikan Guru Agama)
menggunakan kemampuannya
mengetuk satu persatu pintu
orang-orang berada dan
menawarkan jasanya untuk
mengajar ngaji anak-anak
mereka. Akibat kebutuhan yang
mendesak itulah, ibu selalu
kehabisan uang untuk biaya
sekolahku, juga adik-adikku.

Ada Wicaksono, kami
memanggilnya Sony, di kelas ia
selalu menjadi biang keributan,
sering membuat onar dan tidak
jarang berbuat usil terutama
kepada perempuan.

Hampir semua anak dikelas tak
menyukainya, selain ia juga
sombong. Ia sangat suka pamer jika mempunyai barang-barang bagus yang baru dibelikan
orangtuanya, seperti sepatu dan
tas. Dilihat dari merk-nya sih,
jelas tidak murah, bagus pula
modelnya. Aku tak pernah iri
kepadanya, hanya saja yang
membuat aku membencinya
lebih karena ocehannya setiap
petugas tata usaha
memanggilku.

“Pinter-pinter
nunggak …” atau sindiran lainnya.
Sore menjelang Ashar, dengan langkah gontai aku memasuki
teras rumah. Kulihat ibu sedang
menyapu lantai. Sejak dalam
perjalanan pulang sudah
kuputuskan untuk tidak
menyampaikan surat panggilan
kepala sekolah agar tidak
menjadi beban pikiran ibu. Lagi
pula mulai besok sampai minggu
depan sekolah libur.
Satu minggu sesudah jadwal
masuk aku masih belum mau ke
sekolah. Aku ‘membohongi’ ibu
dengan mengatakan bahwa libur
sekolah diperpanjang. Hingga
akhirnya Fauzan, seorang
temanku datang dan
mengajakku ke sekolah. Ada
yang lain di sekolah, petugas TU
yang biasanya tak pernah
senyum kepadaku, hari ini begitu
ramah. Di kelas, tak ada yang
berubah kecuali Sony, teman-
teman bilang ia telah berubah
setelah mengikuti pesantren kilat
selama liburan yang lalu. Tak ada
lagi kesombongan dan sifat
usilnya. Alhamdulillaah.

***

Itu dua belas tahun yang lalu,
saat aku masih duduk dibangku
SMA kelas 2. Kini aku tak pernah
bertemu lagi dengan mereka,
orang-orang yang pernah
menjadi bagian dari perjalanan
hidupku. Yang kutahu cuma satu,
Fauzan, teman sekolahku dulu
kini menjadi salah satu staf
dalam perusahaan yang aku
dipercaya menjadi General
Managernya. Satu bulan lalu saat
acara syukuran dikantor atas
dipercayanya aku menjadi GM,
Fauzan membisikkan sesuatu
yang membuatku menitikkan
airmata. “Masih ingat Sony? Dia
menjual tas dan sepatu barunya
untuk melunasi tunggakan biaya
sekolah kamu dulu”
Subhanallaah …

***

Sahabat sejati bukan memberi
pada saat orang meminta, ia
mempunyai mata pandang yang
mampu menembus relung
kebisuan sahabatnya. Ia memberi tanpa kata-kata, tanpa
menepuk dada.
Saudaraku, mungkin sepanjang
perjalanan hidup kita pernah ada
orang-orang yang menjadikan
dirinya batu pijakan sehingga
kita bisa melangkah maju dan
lebih jauh. Meski cuma batu kecil,
namun keberadaannya mungkin
telah menyelamatkan kita dari
jurang kejatuhan yang
melumpuhkan.

Sayangnya, seringkali kita tak
pernah menengok batu-batu
pijakan itu dan melupakannya...

sumber: kaskus.us


Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More