link within

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

CONNECT WITH

Rabu, 06 April 2011

ILMU LADUNI, ANTARA HAKIKAT DAN KHURAFAT

Manusia dilahirkan di bumi ini
dalam keadaan bodoh, tidak
mengerti apa-apa. Lalu Allah
mengajarkan kepadanya
berbagai macam nama dan
pengetahuan agar ia bersyukur
dan mengabdikan dirinya
kepada Allah dengan penuh
kesadaran dan pengertian. Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Dan Allah mengeluarkan kamu
dari perut ibumu dalam keadaan
tidak mengetahui sesuatu pun
dan Dia memberi kamu
pendengaran, penglihatan dan
hati, agar kamu bersyukur." (An-
Nahl: 78)
Pada hakikatnya, semua ilmu
makhluk adalah "Ilmu Laduni"
artinya ilmu yang berasal dari
Allah Subhanahu wa Ta'ala. Para
malaikat-Nya pun berkata:
"Maha Suci Engkau, tidak ada
yang kami ketahui selain dari apa
yang telah Engkau ajarkan
kepada kami." (Al-Baqarah: 32)
Ilmu laduni dalam pengertian
umum ini terbagi menjadi dua
bagian. Pertama, ilmu yang
didapat tanpa belajar (wahbiy).
Kedua, ilmu yang didapat karena
belajar (kasbiy).
Bagian pertama (didapat tanpa
belajar) terbagi menjadi dua
macam:
1. Ilmu Syar'iat, yaitu ilmu
tentang perintah dan larangan
Allah yang harus disampaikan
kepada para Nabi dan Rasul
melalui jalan wahyu (wahyu
tasyri'), baik yang langsung dari
Allah maupun yang
menggunakan perantaraan
malaikat Jibril. Jadi semua wahyu
yang diterima oleh para nabi
semenjak Nabi Adam
alaihissalam hingga nabi kita
Muhammad shallallahu 'alaihi
wasallam adalah ilmu laduni
termasuk yang diterima oleh
Nabi Musa dari Nabi Khidlir . Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman
tentang Khidhir:
"Yang telah Kami berikan
kepadanya rahmat dari sisi Kami,
dan yang telah Kami ajarkan
kepadanya ilmu dari sisi
Kami." (Al-Kahfi: 65)
Di dalam hadits Imam Al Bukhari,
Nabi Khidlir alaihissalam berkata
kepada Nabi Musa alaihissalam:
"Sesungguhnya aku berada di
atas sebuah ilmu dari ilmu Allah
yang telah Dia ajarkan kepadaku
yang engkau tidak
mengetahuinya. Dan engkau
(juga) berada di atas ilmu dari
ilmu Allah yang Dia ajarkan
kepadamu yang aku tidak
mengetahuinya juga."
Ilmu syari'at ini sifatnya mutlak
kebenarannya, wajib dipelajari
dan diamalkan oleh setiap
mukallaf (baligh dan mukallaf)
sampai datang ajal kematiannya.
2. Ilmu Ma'rifat (hakikat), yaitu
ilmu tentang sesuatu yang ghaib
melalui jalan kasyf (wahyu ilham/
terbukanya tabir ghaib) atau
ru'ya (mimpi) yang diberikan
oleh Allah kepada hamba-
hambaNya yang mukmin dan
shalih. Ilmu kasyf inilah yang
dimaksud dan dikenal dengan
julukan "ilmu laduni" di kalangan
ahli tasawwuf. Sifat ilmu ini tidak
boleh diyakini atau diamalkan
manakala menyalahi ilmu syari'at
yang sudah termaktub di dalam
mushaf Al-Qur'an maupun kitab-
kitab hadits. Menyalahi di sini
bisa berbentuk menentang,
menambah atau mengurangi.
Bagian Kedua
Adapun bagian kedua yaitu ilmu
Allah yang diberikan kepada
semua makhluk-Nya melalui jalan
kasb (usaha) seperti dari hasil
membaca, menulis, mendengar,
meneliti, berfikir dan lain
sebagainya.
Dari ketiga ilmu ini (syari'at,
ma'rifat dan kasb) yang paling
utama adalah ilmu yang
bersumber dari wahyu yaitu ilmu
syari'at, karena ia adalah guru.
Ilmu kasyf dan ilmu kasb tidak
dianggap apabila menyalahi
syari'at. Inilah hakikat pengertian
ilmu laduni di dalam Islam.
Khurafat Shufi
Istilah "ilmu laduni" secara
khusus tadi telah terkontaminasi
(tercemari) oleh virus khurafat
shufiyyah. Sekelompok shufi
mengatakan bahwa:
1. "Ilmu laduni" atau kasyf adalah
ilmu yang khusus diberikan oleh
Allah kepada para wali shufi.
Kelompok selain mereka, lebih-
lebih ahli hadits(sunnah), tidak
bisa mendapatkannya.
2. "Ilmu laduni" atau ilmu hakikat
lebih utama daripada ilmu wahyu
(syari'at). Mereka mendasarkan
hal itu kepada kisah Nabi Khidlir
alaihissalam dengan anggapan
bahwa ilmu Nabi Musa
alaihissalam adalah ilmu wahyu
sedangkan ilmu Nabi Khidhir
alaihissalam adalah ilmu kasyf
(hakikat). Sampai-sampai Abu
Yazid Al-Busthami (261 H.)
mengatakan: "Seorang yang alim
itu bukanlah orang yang
menghapal dari kitab, maka jika
ia lupa apa yang ia hapal ia
menjadi bodoh, akan tetapi
seorang alim adalah orang yang
mengambil ilmunya dari
Tuhannya di waktu kapan saja ia
suka tanpa hapalan dan tanpa
belajar. Inilah ilmu Rabbany."
3. Ilmu syari'at (Al-Qur'an dan As-
Sunnah) itu merupakan hijab
(penghalang) bagi seorang
hamba untuk bisa sampai
kepada Allah Subhanahu wa
Ta'ala.
4. Dengan ilmu laduni saja sudah
cukup, tidak perlu lagi kepada
ilmu wahyu, sehingga mereka
menulis banyak kitab dengan
metode kasyf, langsung didikte
dan diajari langsung oleh Allah,
yang wajib diyakini
kebenarannya. Seperti Abd. Karim
Al-Jiliy mengarang kitab Al-
Insanul Kamil fi Ma'rifatil Awakhir
wal Awail. Dan Ibnu Arabi (638 H)
menulis kitab Al-Futuhatul
Makkiyyah.
5. Untuk menafsiri ayat atau untuk
mengatakan derajat hadits tidak
perlu melalui metode isnad
(riwayat), namun cukup dengan
kasyf sehingga terkenal
ungkapan di kalangan mereka
"Hatiku memberitahu aku dari
Tuhanku." Atau
"Aku diberitahu oleh Tuhanku
dari diri-Nya sendiri, langsung
tanpa perantara apapun."
Sehingga akibatnya banyak
hadits palsu menurut ahli hadits,
dishahihkan oleh ahli kasyf
(tasawwuf) atau sebaliknya. Dari
sini kita bisa mengetahui
mengapa ahli hadits (sunnah)
tidak pernah bertemu dengan
ahli kasyf (tasawwuf).
Bantahan Singkat Terhadap
Kesesatan di atas
1. Kasyf atau ilham tidak hanya
milik ahli tasawwuf. Setiap orang
mukmin yang shalih berpotensi
untuk dimulyakan oleh Allah
dengan ilham. Abu Bakar
radhiallahu anhu diilhami oleh
Allah bahwa anak yang sedang
dikandung oleh isterinya
(sebelum beliau wafat) adalah
wanita. Dan ternyata ilham beliau
(menurut sebuah riwayat
berdasarkan mimpi) menjadi
kenyataan. Ibnu Abdus Salam
mengatakan bahwa ilham atau
ilmu Ilahi itu termasuk sebagian
balasan amal shalih yang
diberikan Allah di dunia ini. Jadi
tidak ada dalil pengkhususan
dengan kelompok tertentu,
bahkan dalilnya bersifat umum,
seperti sabda Nabi shallallahu
'alaihi wasalam:
"Barangsiapa mengamalkan ilmu
yang ia ketahui, maka Allah
mewariskan kepadanya ilmu
yang belum ia ketahui." (Al-Iraqy
berkata: HR. Abu Nu'aim dalam
Al-Hilyah dari Anas radhiallahu
anhu, hadits dhaif).
2. Yang benar menurut Ahlusunnah
wal Jama'ah adalah Nabi Khidhir
alaihissalam memiliki syari'at
tersendiri sebagaimana Nabi
Musa alaihissalam. Bahkan
Ahlussunnah sepakat kalau Nabi
Musa alaihissalam lebih utama
daripada Nabi Khidhir
alaihissalam karena Nabi Musa
alaihissalam termasuk Ulul 'Azmi
(lima Nabi yang memiliki
keteguhan hati dan kesabaran
yang tinggi, yaitu Nabi Nuh,
Ibrahim, Musa, Isa dan
Muhammad).
Adapun pernyataan Abu Yazid,
maka itu adalah suatu kesalahan
yang nyata karena Nabi
shallallahu 'alaihi wasalam hanya
mewariskan ilmu syari'at (ilmu
wahyu), Al-Qur'an dan As-
Sunnah. Nabi mengatakan
bahwa para ulama yang
memahami Al-Kitab dan As-
Sunnah itulah pewarisnya,
sedangkan anggapan ada orang
selain Nabi shallallahu 'alaihi
wasalam yang mengambil ilmu
langsung dari Allah kapan saja ia
suka, maka ini adalah khurafat
sufiyyah.
3. Anggapan bahwa ilmu syari'at
itu hijab adalah sebuah
kekufuran, sebuah tipu daya
syetan untuk merusak Islam.
Karena itu, tasawwuf adalah
gudangnya kegelapan dan
kesesatan. Sungguh sebuah
sukses besar bagi iblis dalam
memalingkan mereka dari
cahaya Islam.
4. Anggapan bahwa dengan "ilmu
laduni" sudah cukup adalah
kebodohan dan kekufuran.
Seluruh ulama Ahlussunnah
termasuk Syekh Abdul Qodir Al-
Jailani mengatakan: "Setiap
hakikat yang tidak disaksikan
(disahkan) oleh syari'at adalah
zindiq (sesat)."
5. Inilah penyebab lain bagi
kesesatan tasawwuf. Banyak
sekali kesyirikan dan kebid'ahan
dalam tasawwuf yang
didasarkan kepada hadits-hadits
palsu. Dan ini pula yang
menyebabkan orang-orang sufi
dengan mudah dapat
mendatangkan dalil dalam setiap
masalah karena mereka
menggunakan metode tafsir
bathin dan metode kasyf dalam
menilai hadits, dua metode
bid'ah yang menyesatkan.
Tiada kebenaran kecuali apa
yang diajarkan oleh Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam.
Beliau bersabda:
"Wahai manusia belajarlah,
sesungguhnya ilmu itu hanya
dengan belajar dan fiqh (faham
agama) itu hanya dengan
bertafaqquh (belajar ilmu
agama/ilmu fiqh). Dan
barangsiapa yang dikehendaki
baik oleh Allah, maka ia akan
difaqihkan (difahamkan) dalam
agama ini." (HR. Ibnu Abi Ashim,
Thabrani, Al-Bazzar dan Abu
Nu'aim, hadits hasan). ( Abu
Hamzah As-Sanuwi).
Maraji':
1. Al-Fathur Rabbaniy, Abdul Qadir
Al-Jailani (hal. 159, 143, 232).
2. Al-Fatawa Al-Haditsiyah, Al-
Haitamiy (hal. 128, 285, 311).
3. Ihya' Ulumuddin, Al-Ghazali (jilid
3/22-23) dan (jilid 1/71).
4. At-Tasawwuf, Muhammad Fihr
Shaqfah (hal. 26, 125, 186, 227).
5. Fathul Bariy, Ibnu Hajar Al-
Asqalaniy (I/141, 167).
6. Fiqhut Tasawwuf, Ibnu Taimiah
(218).
7. Mawaqif Ahlusunnah, Utsman Ali
Hasan (60, 76).
8. Al-Hawi, Suyuthiy (2/197).


Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More